top of page
Nyoman dan Sarwono.jpg

SARWONO, “KERAS KEPALA” PADA KESEDERHANAAN

oleh: I Nyoman Nuarta

Saya mengenal Sarwono Kusumaatmadja sebagai sosok yang “keras kepala” pada kesederhaannya. Ia keras terhadap dirinya untuk tetap berada di jalan lurus dan “independen”. Pilihannya sebagai manusia independen, dalam pengertian tidak terkooptasi oleh kekuasaan, membuatnya tetap hidup secara sederhana. Sampai akhir hayatnya, 26 Mei 2023, ia tidak memiliki rumah dan hanya punya satu mobil “tua” bertahun 2006, yang setia mengantarkannya ke mana pun ia pergi.

Rumahnya di kawasan Kuningan, Jakarta, yang ia bangun di atas tanah milik anaknya, Rezal Kusumaatmadja, ia wariskan kepada anak semata wayangnya itu, dengan perjanjian ia boleh menumpang tinggal selama hidupnya. Sosok Sarwono menjadi anomali, manusia langka, jarang ada di dunia. Bayangkan, ia sudah menjadi Menteri Negara Aparatur Pendayagunaan Negara pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993), kemudian diangkat kembali sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998).

Kedua jabatan itu ia jalankan di tengah-tengah pemerintahan Presiden Soeharto. Bahkan menurut buku Memoar Menapak Koridor Tengah (2018), ketika masa awal jabatannya sebagai menteri, sekali dalam sepekan ia berbicara langsung secara pribadi dengan Presiden Soeharto. Katanya, ia ingin direkrut sebagai inner circle keluarga Cendana. Tetapi dengan sikap “berani” dan independen, Sarwono menolaknya secara halus. Ia memilih bersikap profesional dan tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang menteri yang melayani rakyat.

Pada masa pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid,  Sarwono kembali ditunjuk sebagai menteri. Ia menjabat Menteri Eksplorasi Kelautan (1999-2001) dalam Kabinet Persatuan Nasional. Selain itu, pada masa Orde Baru, Sarwono juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golkar (1983-1988). Tentu saja masih ada jabatan-jatan lainnya dari Sarwono, baik itu di legislatif maupun eksekutif.

Hal yang hebat dan perlu jadi teladan, jabatan yang mentereng dan “berkelanjutan” itu tidak membuat Sarwono Kusumaatmadja, menjadi orang yang “kemaruk”. Ia secara sadar memilih menjadi orang jujur dan sederhana. Tidak tampak sedikit pun watak birokrat priyayi di dalam setiap penampilannya. Seringkali ia tiba-tiba berkunjung ke NuarArt Sculpture Park dan mengobrol tentang banyak hal, terutama tentang akhlak seorang pemimpin, yang harus berani jujur dan hidup sederhana.

Rasanya kata “jujur dan sederhana” itu mudah diucapkan. Kini, dua kata inilah yang rasanya sulit kita cari referensinya dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Banyak pejabat takut hidup sederhana, karena itu selalu dipersepsikan sebagai “serba kekurangan”. Padahal menjadi orang jujur adalah cara pertama yang harus dilakukan bagi setiap orang, ketika ia diberikan jabatan. Sebab dengan hanya demikianlah, bangsa ini bisa menjadi bangsa yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

Sarwono Kusumaatmadja, tidak sekadar lahir dan hadir sebagai sosok manusia yang memiliki karir sebagai pejabat dan politisi yang bersinar, tetapi ia telah menjelma menjadi simbol kesederhanaan di tengah gemerlapnya kekuasaan. Ia menjadi sosok yang kian langka di masa kini, di mana banyak orang berlomba-lomba berburu kekuasaan untuk melipat-gandakan kekayaan. Kita perlu menjadikannya sebagai suri tauladan hidup, juga cermin bagi batin kita, agar senantiasa ingat, bahwa jika suatu waktu diberikan kekuasaan dan kekayaan, kita harus menggunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan kesejahateraan rakyat dan kebahagiaan orang-orang di sekitar kita. Kita harus “keras kepala” pada kejujuran dan menjalankan hidup secara sederhana. Niscaya dengan cara itu bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar dan dihormati oleh bangsa-bangsa di dunia.

Bandung, 23 Juli 2023

I Nyoman Nuarta

Seniman

bottom of page