Krisis berskala global dewasa ini sedang terjadi dan bersifat kompleks serta multidimensi. Krisis dipicu oleh bencana perubahan iklim, dinamika geopolitik, dan kini pandemi Covid-19. Walaupun vaksinasi sudah mulai dilakukan, namun belum ada indikasi kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.
Berbagai laporan dari Lembaga dunia seperti Food and Agriculture Organization (FAO), World Food Programme (WFP), dan United Nations Development Programme (UNDP) menggambarkan pada kita semua bahwa dunia sedang menghadapi risiko riil kelaparan. Bukan lagi skala negara melainkan berskala global yang disebabkan setidaknya oleh dua variabel besar, yaitu perubahan iklim dan pandemi.
Ancaman pandemi dan perubahan iklim memaksa semua bangsa merumuskan kembali program prioritasnya. Banyak negara yang memprioritaskan kelangsungan hidup warganya yaitu ketahanan pangan dan ketahanan iklim. Sebab, keberhasilan dalam memprioritaskan ketahanan pangan dan ketahanan iklim akan sangat menentukan suksesnya pemulihan ekonomi.
Presiden Joko Widodo sangat memahami ancaman kelaparan global yang dihadapi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintahan yang dipimpinnya telah menyiapkan beberapa lokasi untuk dijadikan Food Estate, dengan perhatian khusus. Kehadiran food estate adalah langkah yang perlu demi ketahanan pangan. Namun food estate saja tidak cukup.
Diperlukan langkah paralel untuk mewujudkan ketahanan pangan karena terkait juga dengan ketahanan iklim. Untuk menggenapkan program ketahanan pangan perlu diambil pendekatan agroekologi, termasuk perhutanan sosial yang dibangun dengan tema ecological agroforestry.
Dalam pendekatan agroekologi, terdapat indikasi peningkatan kegiatan pertanian pekarangan di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dengan penggunaan sumber daya penunjang yang efisien produksi pangan yang dihasilkan bisa lebih tinggi.
Para praktisi pertanian pekarangan telah memperlihatkan berbagai ragam corak agroekologi, seperti: lokavora, ekonomi sirkuler, permakultur, diversifikasi, agritechture, serta pertanian presisi.
Perhutanan sosial perlu diarahkan dibangun dengan tema ecological agroforestry. Tujuannya di samping menghasilkan produk pertanian, perhutanan sosial juga bisa menciptakan penambahan tutupan hutan, penyediaan jasa-jasa lingkungan, dan penciptaan cadangan air.
Keharusan menjalin keterkaitan antara ketahanan pangan dengan ketahanan iklim disebabkan adanya keterkaitan antara perubahan iklim dengan kelangkaan pangan yang juga berhubungan dengan pandemi. Jika keterkaitan antara ketahanan pangan dan ketahanan iklim tidak dijalin kuat, maka ketahanan pangan dan ketahanan iklim kedua-duanya tidak akan tercapai.
Harus diakui bahwa keterkaitan antara ketahanan pangan dengan ketahanan iklim dalam masa krisis bersifat kompleks dan multidimensi. Namun ini bisa dilakukan melalui manajemen air dan manajemen energi.
Dalam masa krisis, manajemen air bisa dilakukan dengan pendekatan zero run off atau mencegah air berlalu begitu saja. Caranya dengan membangun sumur resapan, biopori, penampungan/panen air hujan di ruang-ruang terbuka seperti halaman, tempat parkir, dan sebagainya.
Hal lain yang perlu dicermati juga pada masa krisis adalah antisipasi terjadinya masalah-masalah transisi peralihan dari energi fosil ke energi baru/terbarukan. Solusi yang bisa diambil adalah menciptakan ketahanan energi di tingkat lokal dengan sumber-sumber energi lokal seperti mikrohidro, biomassa, panel surya, dan energi bayu.
Seluruh uraian di atas perlu dijabarkan dalam praktik secara sistemik. Untuk itu perlu melakukan replikasi dari praktik-praktik terbaik yang sedang berlangsung di masyarakat. Hal itu tidak akan terlalu sulit hanya perlu penyesuaian dengan kondisi lokal saja. Semoga kita bisa segera mengatasi pandemi dan krisis multidimensi yang menyertainya.
Comments